Aswaja dan Koran Bungkus Cabai
Pagi itu, sambil minum kopi, Wiryo membaca koran yang ia peroleh dari bekas bungkus cabai, ia baru beli cabai di warung Mbok Narmi.
Nahdlatul Ulama adalah, Wiryo membaca koran tersebut dalam hati, ormas Islam terbesar di Indonesia. Ormas Islam satu ini menampung berbagai nilai kearifan budaya lokal, seperti rahlilan, kenduri, sepasaran, selapanan, dan lain sebagainya, mungkin itulah sebab banyaknya warga Nahdliyyin. Selain itu, sebelum NU lahir, budaya Islam bernuansa Jawa memang sudah mendarah daging bagi warga Islam di Indonesia. Kini dunia sudah semakin modern. Banyak aliran-aliran lain masuk ke Indonesia. Ada yang baik, ada pula yang kurang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia, sehingga ada yang kemudian ditolak dan dilarang menyebarkan ajarannya karena dianggap sesat. Dia berhenti membaca, karena koran tersebut sebatas bungkus cabai, lanjutan tulisan itu tidak ada.
"Bagaimana cara agar tidak terjerumus ke aliran-aliran sesat ini, Pak?" tanya Wiryo kepada bapaknya, sambil ia memberikan sobekan koran itu kepada bapaknya.
NU Bentengi Warga Nahdliyyin dari Aliran Sesat, Pak Torjo membaca judul korannya.
"Kamu cukup dengan belajar sungguh-sungguh di sekolahan, Ngger." jawab bapaknya, "Contohlah Mas Mulwa yang sekarang kuliah di Malang itu, dia pintar, dan berbakti kepada orang tua. Dan jauhi teman-temanmu yang nakal, suka berkelahi, dan suka ngrokok." jawab bapaknya. Wiryo menganggukkan kepala, tanda bahwa ia paham.
Wiryo kembali menyeruput kopi hitamnya yang ketal itu. Cingkirnya yang unik, embun pagi yang segar, dan semilir angin desa menambah nikmatnya kopi itu. Dari kopi aku sadar bahwa sesuatu yang pahit bisa juga dinikmati, kata Wiryo dalam hati.
*****
Di desa Wiryo berada, pergerakan aliran-aliran "sesat" masih tidak ada. Semua orang di desa itu adalah warga Nahdliyyin. Wiryo yang masih berusia 15 tahun, masih belum tahu apa-apa akan hal seperti itu. Namun, dia yakin bahwa dirinya tidak akan bisa didoktrin oleh mereka yang bukan Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Aswaja). Aku pasti bisa mempertahankan kenahdliyyinanku, kerena aku sekolah di madrasah dan aku hidup di lingkungan orang NU, kata Wiryo dalam hati.
"Assalamu'alaikum," kata Mulwa sambil mengetuk pintu rumahnya, ia baru pulang dari Malang, "Assalamu'alaikum." ulangnya, karena belum ada jawaban.
"Wa'alaikumussalam." jawab Wiryo, "Eh, Mas Mulwa pulang. Apa kabar, Mas?" sambungnya.
"Alhamdulillah, sehat, Dek. Lha, bapak dan Ibuk mana?"
"Oh, mereka masih di rumah Mbok Narmi." jawab Wiryo.
"Ada acara apa? Udah jam 9 malam, lo."
"Tahlilan, Mas. Tahlilan 1000 hari meninggalnya Pak De Samidi."
"Waduh."
"Ada apa, Mas?" tanya Wiryo, "kenapa 'waduh'?" tanyanya lagi.
"Dek, tahlilan itu haram," jawab Mulwa, "Rasulullah tidak pernah tahlilan, apa lagi do'a 1000'an dan semacamnya. Itu semua bid'ah, Dek! Semua yang bid'ah itu sesat dan yang melakukannya terancam masuk neraka!" lanjutnya panjang lebar.
Di waktu bersamaan, ternyata Pak Torjo ada di belakang Mulwa. Dia shok mendengar apa yang diucapkan oleh Mulwa, hingga pingsan seketika. Syukur jatuhnya tepat di atas sofa. Lantas Ibu Nurila, isteri Pak Torjo yang juga baru pulang dari tahlilan, langsung marah-marah kepada Mulwa. Namun, itu tidak lama. Dia langsung istighfar dan ambil air wudhu, kemudian sholat. Dia berdoa agar anak-anaknya diberi perlindungan, ditunjukkan jalan yang lurus, dan jadi anak yang sholeh.
Sementara itu, Mulwa hanya diam. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia memutuskan untuk tidur. Demikian juga dengan Wiryo, dia lebih bingung lagi. Kemarin bapak menyuruhku meniru Mas Mulwa agar menjadi anak yang pandai supaya tidak terjerumus aliran sesat, pikir Wiryo, ternyata yang pandai pun juga bisa tersesat, lanjutnya.
*****
Keesokan harinya, Pak Torjo datang ke rumah Kiai Faqih dan menceritakan tentang anak pertamanya. Kiai Faqih tidak kaget, sebab beliau sudah sering menangani hal semacam ini.
"Besok putraku akan menemui Mulwa. Dia pasti bisa meng-NU-kan lagi anak sampean." kata Kiai Faqih dengan mantab, "Kemarin di desa sebelah juga ada semacam ini dan setelah di tangani oleh putraku, dia kembali lagi ikut NU. Pesan saya, suruh Wiryo agar ikut IPNU, agar dia paham dengan aswaja dan NU, dan tahu mana aliran yang 'sesat-menyesatkan', supaya tidak terjerumus seperti kakaknya." lanjutnya.
"Enggih, Yai." jawab Pak Torjo, "Ngapunten, kalau boleh tahu, IPNU itu apa, Yai?"
"IPNU itu singkatan dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama. IPNU adalah organisasi yang mewadahi anak-anak warga Nahdliyyin yang seusia pelajar. Entah itu SD, SMP, SMA, maupun yang sudah kuliah. Pokoknya berusia 12 hingga 27 tahun." jawab Kiai Faqih panjang lebar.
Kemudian percakapan Pak Torjo dan Kiai Faqih berganti membahas sepak bola. Sesama penggemar sepak bola, tidak terasa sudah tiga jam mereka ngobrol. Jam dinding di rumah Kiai Faqih menunjukkan pukul 11 siang. Lalu Pak Torjo memutuskan untuk pamit, karena sudah waktunya Kiai Faqih istirahat, dan Pak Torjo harus merumput untuk makan kambing-kambingnya.
Dua hari kemudian, suasana rumah Pak Tarjo kembali normal. Mulwa sudah mau ikut tahlilan lagi, bahkan kini dia rajin membaca tahlil setiap malam untuk leluhurnya. Wiryo juga dapat teman baru, namanya Damar. Dia adalah Ketua IPNU Ranting di desa tersebut.
"Besok Jum'at ada rutinan IPNU Ranting di rumahku," kata Damar, "kamu datang, ya, Wir!" lanjutnya.
"Siap, Mas." jawab Wiryo, "Acaranya jam berapa?" tanyanya.
"Jam 2 sore, nanti aku kirimi undangannya lewat WA." jawab Damar.
Islam adalah rahmatan lil alamin. Islam hadir untuk siapa saja, di mana saja, dan Al Qur'an selalu relevan kapan pun saja. Islam hadir tidak untuk merubah budaya Jawa menjadi Arab, tapi Islam merangkul budaya Jawa agar menjadi lebih baik dan berkah bagi penduduk setempat. Dan NU-lah yang melestarikan akulturasi Islam dengan budaya Jawa, yang diwariskan oleh Wali Songo. Dengan demikian, IPNU-IPPNU, sebagai badan otonom NU yang beranggotakan pelajar, adalah garda terdepan dalam membentengi dan melahirkan kader-kader NU masa depan.[]
Post a Comment