Autokritik: Tidak Paham Mekanisme dan Teknik Persidangan, Jangan Jadi Pimpinan Sidang!
Tulisan ini adalah autokritik (mengkritik diri sendiri dan mengkritik internal organisasi serta kader kita sendiri) untuk kemajuan organisasi. Seorang teman berkata, mengkritik boleh tapi alangkah baiknya juga memberikan solusi (kritis transformatif).
IPNU-IPPNU adalah salah satu wadah bagi pelajar NU untuk mengembangkan potensi dirinya. Belajar adalah pekerjaan sehari-hari para kader IPNU-IPPNU sampai kapan pun. Dalam belajar di organisasi, ada kalanya (1) belum tahu sama sekali atas sesuatu, sehingga harus mencoba dulu agar tahu, (2) belum tahu sama sekali, sehingga harus belajar dulu sebelum mencoba sesuatu, (3) tahu sedikit hal tentang sesuatu, sehingga harus belajar lagi agar tahu banyak untuk menyukseskan sesuatu, dan (4) tahu banyak atas sesuatu, sehingga langsung bisa mempraktekkannya agar lebih matang lagi pengetahuannya.
Di IPNU-IPPNU, semua kader pasti mengenal yang namanya rapat anggota, konferensi, dan kongres. Ketiga forum tersebut adalah forum tertinggi pada masing-masing tingkat kepengurusan (rapat anggota pada tingkat PAR/PR/PK/PKPT, konferensi pada tingkat PAC/PC/PW, dan kongres di tingkat PP).
Pemimpin jalannya sidang forum permusyawaratan tersebut adalah Pimpinan Sidang yang telah disepakati oleh SC yang dirasa mampu menjadi Pimpinan Sidang.
Pimpinan Sidang memang bukan penentu dari hasil setiap sidang. Sebab, keputusan selalu berada di tangan peserta sidang (ditawarkan ke peserta). Akan tetapi, Pimpinan Sidang sangat memiliki andil yang cukup besar dalam suksesnya persidangan yang telah berlangsung.
Jika Pimpinan Sidang Sidang bisa tegas dan bisa menyesuaikan situasi, maka semua akan aman. Namun, aman saja tak cukup. Pimpinan Sidang juga harus paham tentang mekanisme persidangan, bagaimana etiket persidangan, tata urutan pengambilan keputusan, dan harus hafal ketukan palu sidang, serta bisa menggunakan palu sidang dengan benar dan tepat, agar sidang bisa lancar dan tertib.
Jika tidak paham sama sekali dengan mekanisme persidangan, jangan coba-coba menjadi Pimpinan Sidang! Apalagi di forum sekelas Konferensi Anak Cabang, Konferensi Cabang, Konferensi Wilayah, dan Kongres!
Belajar menjadi Pimpinan Sidang bukan di forum konferensi! Kalau mau belajar, bisa di forum di bawahnya (rapim, raker, atau rapat koordinasi) atau adakan Diklat Persidangan dan buatlah roll play (bermain peran) dalam diklat tersebut.
Konferensi bukanlah tempat untuk main-main. Konferensi bukanlah tempat untuk Pimpinan Sidang "belajaran". Kalau Pimpinan Sidang dalam konferensi masih amatiran, mending pulang saja. Dari pada merusak jalannya persidangan dan menciderai nama baik organisasi sebagai organisasi terpelajar.
Bayangkan, ketika ada Konferensi Cabang, seluruh Pimpinan Ranting susah payah mendelegasikan kadernya untuk ikut konferensi. Namun, ternyata konferensi amburadul gara-gara Pimpinan Sidang tidak paham bagaimana mekanisme pengambilan keputusan. Sidang ribut tanpa titik temu, dan Pimpinan Sidang ikut emosi pula. Padahal, tak seharusnya Pimpinan Sidang larut dalam situasi perdebaran antar peserta, sebab setiap peserta sarat akan kepentingan masing-masing.
Andai terjadi perdebatan, Pimpinan Sidang harus tetap fokus dan membuat keputusan sesuai meknisme yang telah disepakati. Misal, di awal persidangan telah disepakati: opsi maksimal 3, justifikasi maksimal 2, afirmasi maksimal 1, dan waktu lobying 2x2,5 menit. Jika ada 3 opsi dan terjadi perdebatan. Justifikasi dan afirmasi sudah dilakukan, maka langsung saja diadakan lobying. Jika lobying tidak menemui titik temu, langsung adakan voting terbuka!
Pimpinan Sidang harus bisa menguasai situasi. Bukan malah memperkeruh keadaan. Sebab, tugas Pimpinan Sidang adalah (salah satunya) menegur, memperingatkan, dan mengamankan peserta sidang yang merusak ketertiban jalannya persidangan. Andai yang merusak berjalannya persidangan malah Pimpunan Sidang, maka jangan salahkan peserta jika pesertalah yang akan memperingatkan Pimpinan Sidang atau bahkan order untuk mengganti Pimpinan Sidang.
Selanjutnya, Palu Sidang adalah benda kramat dalam sebuah persidangan. Siapa pun tidak boleh main-main dengan palu sidang, entah itu peserta atau pun Pimpinan Sidang itu sendiri.
Pimpinan Sidang harus paham bagaimana memegang palu sidang dan bagaimana mengetukkannya. Tidak boleh asal pegang, apa lagi dibuat main-main. Tidak boleh asal ketuk, apa lagi tanpa kejelasan ketukan apa yang ia lakukan.
Bagi peserta sidang, alangkah baiknya juga memahami mekanisme persidangan. Bahkan kalau bisa, mamiliki pengetahuan yang sama dengan Pimpinan Sidang. Sebab, jika peserta tidak paham mekanisme persidangan, maka peserta akan bingung bagimana mengungkapkan pendapatnya di persidangan, bingung bagaimana cara menyanggah dan bagaimana cara membela. Bahkan, andai Pimpinan Sidang salah melakukan ketukan palu sidang, peserta akan tetap diam. Dan keputusan bisa cacat hukum (walau pun hal itu hanya sebatas keputusan untuk internal).
Akhirnya, tulisan ini adahlah autokritik untuk diri saya sendiri, untuk kita semua, untuk kebaikan organisasi kita, dan untuk kemajuan ilmu organisasi serta skill kita bersama. Mari kita perbaiki bersama-sama untuk memunculkan gerakan 'iklim cerdas bersidang'. Sebuah gerakan yang diorientasikan untuk pembelajaran persidangan, agar kualitas dan kapasitas kita sebagai pelajar bisa lebih meningkat lagi. (Syarif)
Post a Comment