Renungan Malam Tahun Baru
ilustration: rumah123.com
Kudune malem Tahun Baru penuh keramaian dan kemesraan. Tapi ndak demikian yang terjadi di markas Konsorsium Santri Ndeso (KSNd). Suasananya malah kaku, sepi, aneh.Para punggawa KSNd dan kroni-kroninya memang memilih tidak terjun ke pusat keramaian di jalan-jalan protokol kota pada momentum pergantian tahun. Alasannya, "Sudah sangat banyak orang di sana, jadi ora perlu maneh diewangi," kata Sutejo.
Juga ndak ke restoran, hotel-hotel, atau gedung-gedung yang mengadakan acara khusus menyambut malem Tahun Baru. Alasannya, "Itu acara untuk mereka yang hidupnya sepi hiburan sehingga terpaksa repot-repot membeli hiburan," ujar Sugembloh. Dan Sumidi menambahi, "Yang datang ke restoran-restoran itu pasti orang yang sehari-harinya makan ora enak. Lha, kalau kita 'kan tiap hari mangan enak ...."
Kata Sumidi dipotong oleh Sukoco, "Hanya saja enak tidaknya panganan bagi Sumidi tidak tergantung mahal-murahnya panganan, tidak tergantung jenisnya, tapi karena bagi Sumidi lalapan suket saja enak!"
"Persis!" Sumidi malah membenarkan, "Kalau ayam goreng di restoran Romo Waroeng Jayeng bagi saya malah sepet ...."
"Kok, restoran Romo Waroeng Jayeng?"
"Lha, restoran ayam goreng yang dari Amerika itu 'kan sebenarnya punya Romo Waroeng Jayeng. Hanya saja orang menyangka itu gambar Kolonel Sanders ....."
Alhasil para punokawan kesatuan KSNd ngopi saja di markas. Mereka menyelenggarakan Malam Renungan 2019-2020 dengan mengundang beberapa pakar muda dari kalangan mahasiswa. Ada yang ahli ilmu sosial, cag-ceg kalau ngomong politik dan kemasyarakatan. Ada juga yang calon kyai, karena dari mulutnya selalu terlontar kalimah thayyibah.
Bahkan, kalau nonton bioskop, dia selalu mengucapkan assalamualaikum sambil menyalami semua orang, dari tukang parkir motor, calo karcis, penjaga pintu masuk bioskop, sampai setiap penonton diurut satu per satu. Dan kalau setelah keliling menyalami penonton ternyata film masih belum habis, dia selalu juga mengucapkan salam kepada bintang-bintang film di layar perak.
Pokoknya, Ustadz muda ini senantiasa menyebarkan salam dan kedamaian ke seluruh pelosok bumi. Lha wong setiap kali naik motor berhenti di perempatan jalan menunggu lampu merah, beliau senantiasa meneriaki Pak Polisi dan orang-orang lainnya, "Assalamualaikum! Assalamualaikum!" Sesekali dia ke tengah-tengah perempatan jalan, membungkuk ke empat arah satu per satu—seperti petinju yang akan berlaga di ring sambil ber-assalamualaikum.
Tapi, acara renungan itu agak macet gara-gara para serdadu melontarkan pertanyaan yang bermacam-macam dan tak bisa dijawab oleh Pak Ustadz maupun Subari yang bertindak sebagai ....
Misalnya, "Siapa yang lebih punya kans untuk masuk surga, tokoh-tokoh Majelis Ulama Indonesia atau investor ilmu dan teknologi seperti Thomas Alva Edison?"
Pertanyaan itu merangsang munculnya pertanyaan-pertanyaan susulan yang bertubi-tubi.
"Ya! Soalnya, Majelis Ulama (MU) kalau rapat 'kan di ruang kantor yang pakai listrik. Kalau Ndak pakai listrik, 'kan Rapat Gelap itu namanya. Jadi, ilmuwan penemu listrik dan para pekerja lembaga listrik sangat berjasa menghindarkan Majelis Ulama dari hukuman karena rapat gelap. Siapa yang oleh Tuhan dipandang sebagai hamba yang bermanfaat bagi kehidupan makhluk-makhluknya? Bayangkan kalau tidak ada listrik, industrialisasi akan macet. Pembangunan tidak maju-maju. Belum lagi kalau kita ngomong soal penemuan ilmu dan teknologi lainnya, seperti mesin-mesin, komputer, dan transportasi. Kita umat Islam tiap hari memakai dan bergantung pada fasilitas-fasilitas yang mereka temukan, tapi sementara itu kita kutuk mereka sebagai orang-orang kafir yang masti akan masuk neraka!"
Pertanyaan-pertanyaan mengguyur seperti tumpahnya air hujan sesudah kemarau panjang. Bahkan, pertanyaan semacam di atas itu dilebarkan pula, misalnya, "Kenapa organisasi MU itu diresmikan dan dilantik oleh pemerintah, pusat maupun daerah? Apakah Wali Songo dulu dilantik oleh Raden Patah atau Sultan Trenggono? Apa tidak terbalik? MU itu anak pemerintah atau sesepuh pemerintah yang memiliki kewibawaan atas anak-anak bangsanya?"
Masih terus ditambah lagi melebar-lebar Ndak karuan.
"Siapa tokoh-tokoh di negeri ini dulu maupun sekarang yang lebih berjasa kepada hamba-hamba Allah di muka bumi dibanding dengan Mikhail Gorbachev"—itu misalnya.
Dan masih sangat banyak pertanyaan, yang akhirnya tak bisa dijawab oleh Pak Ustadz maupun Subari.
Hanya beberapa orang yang tahu bahwa ternyata pertanyaan itu asal-usulnya adalah dari Subari sendiri.[]
Post a Comment