Allah Pun Memberi Contoh-contoh Dahsyat Soal Mengendalikan Diri
Gambar: pixabay |
Akhir-akhir ini, iklan sirup marjan sudah mulai
gentayangan di layar tivi. Iklan yang menurut saya menjadi pelengkap nuansa
ramadhan di Indonesia. Seperti tersugesti bahwa puasa tak akan lengkap tanpa
iklan sirup marjan. Nah, iklan tersebut menunjukkan bahwa sebentar lagi kita
akan berjumpa dengan bulan ramadhan. Bulan yang selalu dinantikan oleh seluruh
umat muslim.
Berpikir tentang bulan puasa, saya kembali teringat
dengan buku yang berjudul Tuhan Pun Berpuasa karya Emha Ainun Nadjib (1997). Buku tersebut berisi kumpulan esai Cak Nun tentang
kesejatian hidup, salah satu esainya berjudul Tuhan Pun “Berpuasa”. Dalam esai tersebut,
Cak Nun menggambarkan betapa bulan puasa mendapat perhatian khusus dari Allah SWT.
“Secara terang-terangan Allah menunjukkan sikap
posesif dan kita sebut saja—fanatik terhadap ibadah puasa. Allah menyatakan
bahwa pekerjaan puasa hamba-hamba-Nya merupakan ‘milik khusus’ di keharibaan-Nya. Kalau pada ibadah-ibadah
lain Allah mempersilakan setiap pelakukanya memperoleh pahala, kehormatan, dan
manfaat, khusus untuk soal puasa Allah bermaksud ‘memonopoli’ untuk diri-Nya
sendiri,” kata Cak Nun dalam buku tersebut.
Ada dua hal yang membuat saya kagum dengan Cak Nun terkait
buku tersebut. Pertama, saya heran dengan pemikiran Cak Nun yang sampai
menjangkau hal-hal yang demikian. Padahal, soal puasa, kita hanya perlu
menjalankan sesuai syari’at dan selesai sudah. Tapi lain halnya dengn Cak Nun.
Pada kalimat berikutnya, Cak Nun benar-benar mendalami ruang sunyinya untuk
menggali tentang puasa.
“Saya melihat sikap-Nya itu pada beberapa sisi.
Benar tidaknya penglihatan saya itu pasti hanya Allah yang mengetahui persis.
Saya sekadar menggali, menghayati, dan merasakannya dengan cinta kasih —yang
saya harapkan bisa menambah pemaknaan puasa, setidak-tidaknya, bagi diri saya
sendiri,”
Hal yang saya kagumi berikutnya adalah gaya bahasanya
yang khas dan unik. Kalimat-kalimatnya renyah untuk dibaca semua golongan,
mulai dari professor hingga anak jalanan di derempatan pasar Papar.
Kadang-kadang bahasa Cak Nun juga agak “nakal”, tapi malah semakin membuat
pembaca bergairah untuk melanjutkan ke paragraph berikutnya.
Menurut saya, salah
satu kalimat ampuh yang ditulis Cak Nun dalam buku itu adalah sebagai berikut:
Allah sendiri, memberi contoh-contoh dahsyat dan luar biasa soal mengendalikan diri. Dengan amat setia Allah menerbitkan matahari tanpa peduli apakah kita pernah mensyukuri terbitnya matahari atau tidak. Allah memancar-kan cahaya matahari tanpa menghitungnya dengan pengkhianatan yang kita lakukan atas-Nya setiap hari. Allah memelihara kesehatan tubuh kita dari detik ke detik, meskipun ketika bangun pagi hanya ada satu dua belaka hamba-Nya yang mengucapkan syukur bahwa matanya masih bisa melek. Allah sendiri “berpuasa”. Kalau tidak, kita sudah dilenyapkan oleh-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu.
Buku Tuhan Pun Berpuasa ini merupakan satu buku yang
mengenalkan saya dengan pemikiran-pemikiran Cak Nun. Selain buku itu, pemikiran
Cak Nun pertama saya dalami melalui buku berjudul Markesot Bertutur, Indonesia
Bagian dari Desa Saya, dan Slilit Sang Kyai. Kemudian pada tahun 2015 saya
mulai melingkar di majelis masyarakat maiyah. Pertama kali maiyahan yakni di
BangbangWetan (BbW), Surabaya dengan saudara saya yang saat itu masih menempuh study di
Surabaya. Kemudian beberapa bulan setelah melingkar di BbW, saya datang ke
padhangmbulan, Jombang bersama dengan Pak Andra kepala sekolah SMK Al KhidmahNgronggot.
IDENTITAS BUKU:
Judul buku : Tuhan pun “Berpuasa”
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Kompas, Juni 2012
Tebal buku : 236 Halaman
ISBN : 978-979-709-656-4
Post a Comment