Halusinasi Cinta Aya
Foto @arin_sasabilah |
Terdengar suara sayu nan merdu dari komplek kamarku. Aku
tertatih-tatih menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu, karena waktu masih
menunjukan sepertiga malam, para santri masih jarang ada yang bangun. Setelah
dari kamar mandi, aku berangkat menuju masjid untuk melaksanakan tahajud
bersama Faizah.
“Zah, kamu mendengar ada suara mengaji nggak?” tersentak aku bertanya
pada Faizah yang berada di sampingku dan pada waktu itu kita berada serambi
masjid.
“Mana? Ah kamu Ay salah dengar kali,” Faizah membantahku.
Aku terdiam sipu, mungkin aku salah dengar benar kata Faizah. Atau
mungkin Faizah masih ngantuk ya? Entahlah… Nggak penting juga sih.
Adzan subuh berkumandang, tibalah para santri bergerombolan menuju
dan memenuhi saf-saf serambi masjid. Dan tak lupa temanku Najwa. Dia
menghapiriku dengan wajah cemberut karena aku lupa membangunkannya.
“Wa, maaf ya… Aku lupa bangunin kamu,” sambil ketawa aku berkata.
“Kebiasaan kamu Ay, temen mau tobat juga malah dibiarin molor
sampek subuh,” sambil ngomel-ngomel dia menjawab.
“Iya iya Wa… Maaf, maaf banget deh. Besok janji aku bangunin,” aku
merayu dia sambil sedikit meledek.
“Iya, awas ya kalau lupa. Traktir kita berdua, ya nggak Zah?”
ancaman mainan Najwa padaku.
“Yoi, suka banget aku tuh makan gratis,” bumbu dari Faizah buat
Najwa.
“Hmm… iya iya…” jawabku singkat karena kang santri sudah
mengumandangkan iqamahnya.
Setelah jamaah subuh, kami tak lekas kembali ke kamar. Beberapa
rangkaian kegiatan selalu kita lalui dengan senang hati.
Seperti biasa, adat di pondok itu kalau mau mandi antrinya minta
ampun. Bahkan kalau sudah kesiangan sekolahpun nggak mandi. Lucunya ya disini, yang
bikin kangen ya ini. Sudah antri, belum nanti sama senior direbut. Kesel kann,
tapi itu yang sangat menyenangkan sekali. Bahkan pernah aku antri mandi sampai
ketiduran. Nggak tau kalau tadi aku digeser beberapa anak. Jadi ya singkat
cerita aku jarang mandi kalau sekolah. Takut terlambat dimarahin pengurus.
Belum nanti kalau telat di kelas, pasti deh dijemur aku di halaman. Disuruh
muter-muter lagi, betapa sempurnanya penderitaanku.
Namun, di sekolah pagiku ini, nggak ada santri putranya. Santri
putra ada sendiri namun agak jauh dari komplek santri putri. Jadi kalau kena
hukuman nggak terlalu malu lah. Bahkan Najwa seneng banget dia kalau dihukum,
katanya bisa mengurangi jam pelajaran lumayan. Entahlah memang sifat Najwa
seperti itu, lebih parah dari aku.
Namaku Cahaya Habibi, biasa dipanggil Aya. Aku berasal dari
semarang. Dan aku dikirim sama ayah ibu di pondok ini. Namanya pondok pesantren
As-Salamah yang berada di provinsi Jawa Timur. Bagiku pondok pesantren itu
seperti penjara santri. Semua diatur, sampai makan pun mandi pun digiring. Tapi
itu dulu, sekarang aku sudah merasakan indahnya bagaimana hidup di pesantren.
Bayangkan saja, rumah jauh, jauh dari orang tua. Ketemu satu tahun
sekali, nggak boleh bawa hp. Telfon pun antrinya dari subuh sampai subuh lagi.
Memang semua anggota keluargaku dulunya alumni pondok ini, maka dari itu semua
anaknya dikirim kesini. Untung saja masih ada kakakku di pesantren ini, yang
sering menjungukku dan aku mintai uang saku. Walau kakakku berada di lokasi
pondok putra, dia sering sekali menjengukku dan kumintai uang saku. Terkadang
kakakku kesal padaku, karena seringnya aku minta uang jajan padanya. Tapi
bagiku dulu ya masa bodoh, aku kan masih kecil yang masih butuh adaptasi
pesantren ini.
“Aya? Bangun dulu, tidurnya nanti di kamar,” ibu guru membangunkan
aku di kelas.
“Iya bu, maaf,” jawabku sambil memaksa membuka mataku.
Inilah kebiasaan burukku. Namun tidak hanya aku saja, banyak sekali
temanku seperti ini. Sampai dibuat pengadatan di kelas ini kalau anak pondok
itu tukang tidur. Maklumlah, kami begadang sampai malam tidak sia-sia kog. Yang
membuat rugi ya kami sendiri, karena ngerumpi adalah kebiasaan kami setiap
selesai sekolah malam. Apalagi kalau bahas kang santri pasti nggak ada
ujungnya. Bubarnya ketika pengurus mulai mengobrak-obrak anak-anak.
Bell pulang sekolah berbunyi, waktunya semua santri kembali ke
kamar masing-masing. Sampai kamar pun kami tidak lekas tidur, kami wajib jamaah
dhuhur dulu sebelum tidur siang. Inilah hiruk pikuknya di pondok, kami harus antri
lagi untuk mengambil air wudhu. Namun, aku selalu duluan. Karena sebelum jam
pelajaran selesai aku keluar kelas sebentar untuk mengambil wudhu. Karena aku
bukan tipe anak yang tlaten untuk antri. Ketika para santri masih ramai antri,
aku sudah berangkat ke masjid. Belum ada satu pun anak yang sampai di masjid,
aku mengambil sapu untuk membersihkan lantai.
“Ay ada kang santri tu,” ledek Najwa.
“Trus aku suruh ngapain?” jawabku ketus.
“Siapa tau jodohmu Ay,”
ocehan Najwa nggak jelas.
“Minggir aku sapu dulu,” pintaku menyuruh Najwa minggir.
Sore itu mendung tak secerah hatiku, angin bergelut berlarian
kesana kemari. Ada anak-anak yang menangis ketakutan, mungkin dia santri baru
jadi belum betah juga dengan keadaan di pondok ini.
“Adek kog nangis, Kenapa?” sambil ku mendekatinya.
“Pulang… Pulang… hiii hiii,” dia menangis minta pulang.
“Kenapa kog minta pulang? Di sini kan enak, banyak temenya, ya
kann. Yuk mbak ajak ke teras depan, mbak belikan es krim deh,” kugandeng
tangannya sambil ku merayunya.
Setelah ku belikan es krim, aku ajak dia duduk di teras serambi masjid
dengan menikmati hujan disore hari.
“Adek namanya siapa? Trus rumahnya mana hayo, jangan-jangan nggak
tau rumahnya ya,” kudekati dia sambil ku tanya-tanya supaya lupa dengan
keinginannya untuk pulang.
“Namaku Ica mbak, rumahku Surabaya, Mbak Aya mana?” jawabnya dan
balik bertanya padaku.
“Ooh dek ica gendut, ya, namanya” aku menggodanya.
“Loh kog sudah tau nama mbak? Hayooo dari siapa hayoo,” sambilku
menggelitikinya.
“Ha ha ha,” dia hanya ketawa dan memperlihatkan giginya yang ompong
layaknya anak kecil.
Di pondok ini banyak juga anak-anak yang sudah dipondokkan sama
orang tuanya. Ada yang sejak TK, MI, bahkan yang MTS pun masih sering nangis,
apalagi yang anak-anak kayak Ica.
“Nduk, mandi yuk nduk sudah sore, nanti dicariin mbak pengurus lo,”
ajakku sambil merayunya.
“Hmm… aku nggak mau mandi, aku mau pulang,” rewelnya mulai lagi.
“Yaudah, sekarang mandi dulu, habis itu Mbak Aya antar pulang deh,
mau nggak?” rayuku.
“Oke mbak cantik, gendong,” begitu girang dia menyebut kata pulang.
“Iya ayo…” ku gendong bandannya yang begitu gemuk menggemaskan.
Malam itu begitu ramai, para santri sibuk membereskan semua
pakaiannya. Tiga hari lagi menuju liburan, apa dayaku yang jauh dari orangtua
ini. Aku hanya bisa melihat teman-temanku begitu bahagia menyambut liburan.
Sedangkan aku satu tahun sekali pulangnya, kalau kakakku mau aku baru diajak
pulang ke rumah saudara, itupun kalau kakakku mau.
“Ay mau aku ikut aku pulang nggak?” Najwa menawariku.
“Enggak aja deh Wa, nanti aku dimarahin kakakku ikut-ikut temen,”
jawabku.
“Kan rumahku deket, coba aja minta izin dulu sama kakakmu,” ajak
Najwa sedikit memaksa.
Najwa memang sahabat terbaikku, dia anak yang nggak bisa diam cocok
kalau denganku. Sama-sama nggak bisa diam alias ndablek. Tibalah
waktunya semua santri pulang berlibur, tinggal beberapa anak saja yang nggak
pulang. Termasuk aku, namun aku sudah terbiasa. Malam yang sepi mengingatkan
aku pada Najwa dan Faizah, pasti mereka lagi bercanda tawa bersama orangtua
mereka.
“Mbak Aya, mbak nggak pulang?” tiba-tiba ada anak kecil memeluk
pundakku dari belakang.
“Ehh kamu nduk, kog nggak pulang? Katanya kemarin minta pulang?”
tanya ku pada Ica si imut.
“Aku pulang besok mbak Ay, karena masnya aku minta dijemput mama
besok, Mbak Aya mau ikut aku pulang?” jawabnya dengan semangat karena besok mau
pulang.
“Enggak nduk, Mbak Aya di pondok saja. Sudah siyap-siyap belum
nduk, kalau belum yuk mbak aya bantuin,” aku menawarkannya.
“Sudah dong, kan aku anak rajin,” jawabnya dengan gaya centil.
“Pintar dong,” pintaku memuji.
“Mbak Aya malam ini aku bobok sini ya sama Mbak Aya, boleh kan Mbak
Ay?” tanya Ica padaku.
“Boleh nduk, tapi… ada tapinya loo…” aku ketawa melihatnya.
“Tapi apa mbak? Mbak Aya kog gituu,” sambil cemberut dia ngomong.
“Nggak-nggak… tapi… nggak boleh ngompol, kalau mau tidur, kencing
dulu nanti Mbak Aya anter,” ujarku padanya.
“Hehehe… oke siap Mbak Aya,” jawabnya.
Pulas sekali tidur Ica malam ini, mungkin dia begitu tenang besok
akan bertemu kedua orangtuanya.
Suara itu terdengar lagi dan sangat begitu jelas ditelingaku. Aku
segera bangun dan mengambil wudhu untuk memunajat kehadirat Allah. Itu sudah
aku biasakan sejak aku menginjak Aliyah. Suara itu kudekati, ternyata suara itu
adalah suara kang santri yang berada diserambi masjid tepat ditempat jamaah
kang santri. Sampai aku selesai bermunajat, kang santri pun juga belum usai
melantunkan ayat suci al-Qur’an. Sungguh merdunya suara kang santri ini. Begitu
idaman sekali suaranya.
“Apa dia tidak pernah tidur ya? Jam segini selalu sudah ada di
masjid,” dalam hatiku bertanya-tanya.
“Kenapa aku malah melamun suara itu? Ahh nggak penting banget,” aku
buyarkan lamunanku sendiri. Pagi itu aku lekas membangunkan Ica dan segera aku
mandikan.
“Ica, nduk ayo bangun. Katanya mau pulang, jadi nggak?” tanyaku
supaya dia segera bangun.
“Hmm… masih ngantuk Mbak Ay,” jawabnya dengan menarik selimut lagi.
“Ehehe nduk, ayo dong bangun, mama nungguin itu lo,” rayuku
padanya.
“Tapi aku nggak mau mandi,” jawab Ica.
“Berarti, kalau nggak mau mandi…yang pulang ke rumah Mbak Aya dong.
Kan yang sudah mandi Mbak Aya, ya nggak? Ica di pondok aja, gentian Mbak Aya
yang pulang ke rumah,” bercandaku.
“Mbak, saya mau manggil Ica, kamar anak-anak,” kakak Ica tiba-tiba
bertanya ditempat penunggu.
“Iya ditunggu,” mbak penjaga menjawabnya.
“Mbak Aya? Ica sudah dijemput,” mbak penjaga memberitahu aku lewat
iphon pondok.
“Iya mbak, sebentar,” tergopoh aku manjawabnya.
“Nduk, ayuk sandalnya dibawa, kakak sudah nunggu di depan. Mbak Aya
yang bawa tasnya,” sambilku menggendong badannya yang gembrot.
“Kakak…” teriak ica pada kakaknya yang masih diujung gerbang.
“Kog gendong?” kakak ica bertanya.
“Nggak papa kan aku masih kecil,” jawabnya tanpa dosa.
“Yaudah ayo turun, kasian mbaknya lo,” ujar kakaknya.
“Terimakasih mbak, merepotkan mbak,” ujar kakak Ica padaku.
“Oh nggak kang, pintar kog anaknya,” balasku dengan tersenyum.
Hari berganti hari, minggu bertukar minggu. Aku sudah bosan dengan
kesendirianku di kamar dengan teman seperjuanganku. Kapan Najwa sama Faizah
balik ya? Aku mendesah sendirian. Tanpa mereka hidupku sepi sekali, apalagi
pagi tidak sekolah, nggak enak banget. Dimana-mana sepi, bahkan suara merdu itu
tidak terdengar lagi.
Masak suara merdu itu kakaknya Ica ya? Kemarin ketika bercakap
padaku suaranya hampir sama, sekarang Ica pulang suara itu tak terdengar lagi. Semakin aku penasaran.
Namun, ketika liburan aku menggunakan waktuku sebaik mungkin. Aku
berniat ketika liburan akan menghabiskan buku yang ada di perpustakaan. Pagi,
siang, sore sampai malam pun aku kunjungi. Mumpung nggak antri, biasanya buku
yang bagus-bagus selalu diambil sama mbak-mbak santri yang datang duluan.
Sore yang cerah ini tak seperti cerahnya hati para santri, semua
santri kembali ke pondok lagi. Semua kegiatan akan kembali normal seperti
sebelum liburan. Namun, hati para santri tak secerah rembulan malam ini. Bagi
mereka liburan dua minggu sangatlah singkat untuk bertemu kedua orang tua
mereka.
“Najwa, apa kabar? Gimana nih ketemu calon mertua? Eehhh orangtua maksudku,”
sapaku dengan bergurau dengan Najwa yang baru datang.
“Alhamdulillah Ay sehat aku, tapi liburannya kurang,” jawab Najwa
sambil manyun.
“Eh ini Ay ada oleh-oleh dari emakku,” kata Najwa dengan menawarkan
oleh-oleh dari ibunya.
“Iya Wa, terimakasih nanti aku ambil kog,” pintaku melegakan hati
Najwa.
Sepertiga malam aku terbangun dengan Najwa tanpa ada suara merdu
lagi di serambi masjid ini, siapakah gerangan suara merdu itu? Aku duduk di
samping Najwa yang masih sedikit mengantuk.
“Wa, kog suara merdu itu nggak ada lagi ya? Kemana ya kang santri
sepertiga malam itu?” aku bertanya kepada Najwa.
“Hmm…” dia menjawab dengan memaksa membuka mata.
“Aishhh Najwa, diajak ngomong malah merem,” ujarku.
“Apa Ay? Kang santri setiap hari yang mengaji itu?” Najwa
menyambungnya.
“Iya… kog aku rindu dengan suara merdunya yang membuat hatiku
tenang tak berdesis,” dengan menghayal aku berkata pada Najwa.
“Kumat deh mbak santri tukang menghayal,” ledek Najwa padaku.
Ya beginilah kalau Najwa bicara denganku, nggak ada habisnya.
Kadang serius, kadang nggak serius. Anaknya itu unik, maka dari itu aku betah
dengan Najwa.
Tertahan
Semua cita dan harapan
Penuh dengan kehampaan
Hingga harus tertahan
Sebuah rasa kerinduan
Suara itu terdengar jelas ditelingaku malam itu. Aku berangkat
dengan menggandeng Najwa dengan mata mengantuk.
“Wa, suara kang santri ada lagi,” dengan girangnya aku berkata.
“Iya Ay, siapa ya kira-kira?” jawab Najwa.
“Mbak, maaf Ica belum bisa balik. Tolong sampaikan pada mbak
pengurusnya Ica ya,” tiba-tiba ada suara dibalakang kami.
Tersontak kami kaget.
“Oh iya kang,” melongo kami menjawabnya. Nggak ada angin nggak ada
hujan pangeran tampan datang. Ternyata duagaanku selama ini benar, kang santri
sepertiga malam adalah kakaknya Ica. Ica pernah berkata padaku,
“Mbak Aya, aku punya kakak ganteng lo… nanti Mbak Aya yang jadi
mbak cantiknya yaa… kan cocok ganteng sama
cantik” Ica pernah berkata padaku.
Aku kira dia hanya bercanda, dia masih kecil belum bisa membedakan
mana ganteng dan mana cantik. Ternyata dia tidak main-main. Anak sekecil itu
sudah bisa memilihkan kakaknya, Ica memang anak yang pintar tapi masih sering
menangis. Begitu beruntungnya seseorang mendapatkan kang santri ini. Sering
kali aku menghayal untuk bisa mendapatkan pangeran tampan seperti dia.
Enam tahun sudah aku berada di pondok ini, hari berganti hari.
Waktu terus berjalan secepat kilat. Namun enggan aku meninggalkan pondok ini,
tapi aku tak ada pilihan lain. Aku tidak boleh berhenti sampai jenjang Aliyah
saja, aku harus kuliah selagi orangtuaku masih mampu membiayaiku. Aku selalu
setia mendengarkan suara merdu itu.
“Ay, kamu sudah denger belum?” Najwa berkata padaku.
“Belum, ada apa WA? ” jawabku penasaran.
“Faizah, katanya mau lamaran,” dengan mata melotot Najwa berkata.
“Ya Alhamdulillah dong Wa, kenapa kamu kaget, kan sebentar lagi
kamu, memangnya Faizah mau dilamar siapa Wa?” ledekku dengan bertanya pada
Najwa.
“Dengar-dengar ya Ay, ini masih dengar-dengar lo ya… sama kakaknya
Ica, si ganteng bersuara merdu itu,” jawab Najwa dengan sedikit mengecilkan
suaranya.
“Oh kakaknya Ica,” jawabku lemas seperti kehilangan separuh
nyawaku.
“Kamu nggak papa Ay?” tanya Najwa padaku.
“Enggak kog Wa, kan seneng kalau temen lagi seneng, aku ke kamar mandi
dulu WA,” dengan berjalan keluar dari kamar aku menjawab Najwa sudah nggak
tahan lagi air mataku keburu tumpah di depan Najwa.
Tersontak aku sangat kaget sekali. Kog bisa? Faizah dengan dia?
Kog bisa? Apa makna dari setiap hariku setia mendengarkan suara merdunya? Apa
aku tidak pantas dengannya? Apa Faizah lebih baik dariku untuknya? Berhari-hari
aku sangat mengharapkan balasan dari semua ini. Inilah jawabannya. Air mata ku
terbuang sia-sia, mengapa aku harus sedih? Memang semua sudah diatur oleh yang
Maha Kuasai! Apa hakku untuk marah dengan keadaan seperti ini?
“Mbak Aya, ica boleh disini,” suara mungil ica di belakangku.
“Boleh nduk, sini sama mbak Aya,” jawabku.
“Mbak Aya, maafin kakakku ya… kakakku lebih memilih mbak Faizah
dari pada mbak Aya,” Ica berkata padaku.
“Apa sih nduk, memang mbak Faizah itu sudah waktunya menikah, mbak
Aya masih lama, gitu lo… kenapa Ica minta maaf, kan nggak salah,” jawabku
dengan merangkulnya.
“Mbak Aya besok hadir nggak
ke rumah ku? Kalau hadir nanti barengan sama aku aja,” tanya dia yang
masih polos.
“Nggak nduk, mbak Aya di pondok aja, belum dapat izin,” jawabku
seadanya.
Malam itu aku bingung, aku harus bagaimana? Aku harus apa? Apakah
besok aku ikut ke acaranya Faizah? Apa aku kuat? Sedih sendu melandaku
waktu itu, angin berhembusan membuat bulukuduku merinding. Suara yang membuatku
tenang tak akan kembali kudengar disepertiga malam. Dia akan segera menjadi
milik orang lain. Aku tidak boleh sakit hati, dia bukan siapa-siapaku. Nggak
sewajarnya aku menangisi dia.
Semua pengurus sudah berdandan cantik layaknya bidadari surga pagi
itu.
“Ay, kog belum siap-siap?” Najwa bertanya padaku.
“Apakah aku siap Wa dengan acara nanti?” mataku berkaca-kaca
melihat Najwa.
“Kamu nangis Ay?” tanya Najwa.
“Aku takut disana nggak kuat Wa,” ku peluk erat Najwa.
“Ay… kamu pasti kuat kog, kalau kamu nggak hadir berarti kamu itu
kalah Ay. Ayo buktikan bahwa Cahaya Habibi harus sekuat cahaya hidupnya,” Najwa
merayuku dan menguatkanku.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengikuti rombongan itu. Dan di jalan
aku sudah membayangkan bagaimana rasanya sampai di sana nanti. Sampai sudah
rombongan kami di kediaman Faizah, terlihat banyak tamu undangan yang sudah
menduduki kursi undangan. Dan terlihat wajah cantik Faizah dari luar gedung.
Aku perlahan memasuki ruangan itu, dengan kugenggam tangan Najwa erat-erat.
“Kamu kuat,” Najwa membisikiku.
Aku hanya tertunduk tidak berani melihat Faizah yang berada di
singgah sananya. Aku duduk di samping Najwa yang berada diujung paling belakang
sendiri, Najwa memang sangat mengerti bagaimana perasaanku waktu itu. Resepsi
telah usai, aku harus berpamitan pulang dengan Faizah. Aku sudah siyap dengan
resiko hati yang tak karuan ini.
“Faizah, selamat ya…” ucapku dengan tersenyum sipu.
“Aya, kamu datang juga, aku kirain Najwa aja?” tanya Faizah padaku.
“Iya nih, Najwa maksa aku,” dengan senyum aku membalas pertanyaan
itu.
“Ya iya dong, masa satu solmed kita nggak hadir semua,” celetuk
Najwa.
Aku tak berani melihat suami Faizah sedikit pun.
Sesampainya dari resepsi Faizah, hatiku ambyar tak karuan. Ingin
rasanya aku pergi dan jauh dari sini, tapi tidak segampang itu aku melupakan
kenangan semua ini. Aku baru sadar ketika aku bertanya pada Faizah tentang
suara merdu itu, dan Faizah mengetakan kalau aku salah dengar, mungkin pada
waktu itu Faizah sudah ada perjodohan di antara mereka.
Sekarang mereka sudah hidup bahagia. Dan aku pun juga harus
bahagia. Perjuangan tidak akan menghianati hasil, aku yakin itu. Perjuanganku
masih panjang, belum waktunya aku memikirkan sesuatu yang belum waktunya aku
alami.
Setelah aku lulus Aliyah aku ditelfon sama ayahku untuk melanjutkan
di Semarang saja, supaya dekat dengan orangtua. Pagi itu aku berpamitan dengan
semua teman-temanku untuk pulang ke Semarang. Semua air mata pecah berlinang.
“Aya, kamu ninggalin aku beneran?” Najwa berkata.
“Rumahku nggak jauh kog Wa, ayolah kalau liburan main ke sana, atau
nanti ketika haflah aku akan ke sini,” kataku dengan air mata yang juga tak
bisa kubendung lagi.
“Mbak Aya…” tiba-tiba ada suara anak kecil dari jauh sana.
“Hey, iya nduk… sini salim sama mbak Aya. Mbak Aya mau pulang dulu
ya… Ica nggak boleh nakal ya…” sambil ku memeluk badannya yang gendut itu.
“Nanti aku sama siapa?” tangisan dia di hadapanku dengan keras.
“Ada Mbak Najwa, ada Mbak Annisa, ada Mbak Kayla dan masih banyak
lagi… yang pintar ya nduk,” dengan senyum aku menatap wajahnya.
“Dada semuanya… sampai jumpa kembali semua… Assalam’alaikum,”
tanganku melambai dengan tebaran senyumanku. Aku nggak boleh ikut sedih.
Sekarang aku harus fokus pada kuliah ku. Aku harus membuka lembaran
baru dan nggak boleh teringat dengan goresan lama. Betapa rindunya aku dengan
pondokku, dengan teman-temanku dan dengan mengaji kitabku.
Kekecewaan bukan akhir segalanya, hidup harus diperjuangkan walau
seberat kau kehilangan orang yang kau sayang. Walau itu hanya halusinasi
sesaat.[*]
Penulis: Latifatul Choiriyah (Penulis dapat disapa melalui email lalalatifi7@gmail.com)
Editor : Syarif Dhanurendra
Post a Comment