Harapan Cinta Husna
Foto @elmiaroshita |
Entah apa yang harus kulakukan. Aku bingung. Aku pasrah. Aku lelah. Aku menyerah dengan semua keadaan ini. Dua tahun lamanya aku memperjuangkan rumah tanggaku ini. Namun, apa dayaku untuk melanjutkan semuanya. Apakah aku harus bertahan demi mertuaku, walau aku sendiri mempertaruhkan masa depanku? Ataukah aku harus melepaskan dan mengakhiri semuanya?
“Una,” panggil
mertuaku.
“Ia Ma sebentar,” seketika lamunanku ambyar dan segeraku menghampiri
mertuaku.
“Iya, Ma. Ada apa?” aku bertanya.
“Itu Nak, ada tukang sayur tolong
kamu belanja, bibi lagi pulang kampung,”
Tanpa bertanya lagi aku langsung
mengambil dompetku dan bergegas lari mencari asal suara tukang sayur itu.
Setelah kembali membeli sayur aku pun lekas mengolahnya menjadi hidangan yang
spesial. Apapun yang disuruh mertuaku pasti aku lakukan. Bagiku, mertuaku adalah
orangtua kandungku sendiri. Karena sudah lama aku tidak mempunyai orangtua. Sebelum menikah aku tinggal bersama kakakku. Bersyukur sekali aku mempunyai
mertua yang sangat sayang padaku. Inilah alasanku bertahan di rumah ini, aku nggak
tega meninggalkan mertuaku yang sekarang sedang sakit-sakitan.
Namaku Husna
Habibi, biasa dipanggil Una. Aku lulusan S1 di salah satu Perguruan
Tinggi yang berada di Lampung. Aku masih ingat pesan terakhir dari orangtuaku, sebisa mungkin aku harus bisa menempuh Pasca-sarjana atau S2.
Aku bertekad melanjutkan S2 di
kampus yang sama, dengan dorongan dan dukungan kakakku aku pasti bisa! Hanya
saja aku terkendala dengan biaya. Namun itu semua tidak menyurutkan semangatku
untuk melanjutkan kuliah lagi. Setiap hari aku mengajar anak-anak di Madrasah
Tsanawiyah Lampung yang jaraknya jauh dari rumahku. Aku memutuskan untuk nge-kost,
karena waktu tidak cukup untuk aku pulang pergi dan kembali lagi. Disela-sela
mengajar aku menawarkan jasa mencuci dari rumah ke-rumah. Hingga pada saat itu
aku bertemu dengan seorang ibu yang sangat baik sekali padaku, dan menjadikan
aku menantunya saat ini.
Setelah aku
menikah dengan Nazril, kupikir kehidupanku akan lebih baik dari sebelumnya.
Namun, semua hanya ekspekstasi belaka. Nama suamiku Nazril Abdullah. Dia adalah
seorang laki-laki tampan namun angkuh. Dia seorang Dokter di salah satu RS di Lampung. Ketika berpakaian dinas, dia bagaikan pangeran jatuh dari langit. Namun
ketika di rumah bagaikan malaikat malik.
Dari awal kita menikah semua apa yang
aku lakukan di mata dia selalu salah. Terkadang aku capek dengan semua ini,
mengapa jodohku seperti ini Tuhan? Setiap hariku dihiasi dengan air mata, isak
tangis yang selalu kusembunyikan hingga menjadi irama di kamarku. Dia memang
tidak mencintaiku, bahkan dia dulu enggan denganku. Namun, dia seorang yang
patuh dengan ibunya dan dia tidak berani menolak permintaan ibunya untuk
menikah denganku.
Aku berpikir positif pasti suatu saat dia akan jatuh
kepelukanku. Aku yakin itu. Aku selalu sabar dengan sikapnya, walaupun aku
selalu mengalah untuk menyapanya.
Pagi ini aku
mulai beraktifitas di kampus. Seperti biasa, aku membantu tugas dosen dalam
menyelesaikan tugasnya. Setelah aku menyelesaikan matakuliah, aku langsung datang
ke ruang Bu Ike, salah satu dosenku. Beliau memintaku untuk membantu
menyelesaikan tugasnya. Dan pekerjaan ini tidak ada satupun orang rumah
yang tau, kecuali bibi (pembantu di rumah). Selesai sudah tugas hari ini aku
langsung secepatnya pulang ke rumah, pasti ibuku sudah menungguku.
Tiba di
rumah aku bersih-bersih dan tak lupa selalu sembahyang tepat waktu, baru
kemudian aku membantu bibi memasak menu makan malam. Sambil aku membantu aku
selalu bercerita apa yang aku alami hari ini dengan Bibi.
“Kenapa nak kog
senyum senyum sendiri?” bibi menepuk pundakku yang lagi melamun.
“Hehe… iya bi, Bibi tau enggak hari ini aku itu seneeng banget! Aku dapat amanah dari Bu Ike. Dosen favoritku itu, lo, Bi, yang biasanya aku ceritain ke bibi,” ocehanku
panjang lebar.
“Oh yang cantik itu? Memangnya amanah apa, Nak,”
Bibi selalu
sabar mendengar curhatanku.
“Iya bi, jadi gini.. Bu Ike minta aku jadi tangan
kanannya, yang bisa bantuin menyelesaikan tugasnya gitu, Bi,” dengan senangnya
aku bercerita dengan bibi.
“Oh gitu, Selamat, ya, Nak. Semoga cita-citamu akan
segera terwujud menjadi dosen seperti Bu Ike,” doa bibi yang selalu
menyertaiku.
“Aamiin. Makasih, ya, Bi,” ujarku.
Tibalah aku
bertemu lagi dengan monster kamarku. Iya, dia suamiku, tapi kalau bertemu aku
seperti bertemu musuh. Entah apa salahku. Dalam hatiku hanya ada satu kata
yaitu SABAR.
“Sudah pulang, Mas?” aku bertanya lembut sambil tersenyum.
“Sudah,”
singkat, padat dan jelas dia menjawab.
“Ditanya baik-baik jawabnya gitu, isshhh,”
aku menggerundel sendiri.
“Kamu ngomong apa?” dia mendengar ocehanku.
“Oh, ndak. He.. he.., ini loo nyamuk kog gigit aku,” jawabku ngeles.
Walau aku satu kamar dengan
suamiku, aku belum pernah tidur bersama. Di dalam kamarku ini ada lorong kecil
yang isinya juga kamar. Aku lah yang mengalah masuk di dalamnya, dia enggan
tidur bersamaku, dia pernah berkata padaku, "Aku tidak mencintaimu, kau adalah
pilihan ibuku yang tidak mungkin aku tolak. Jadi, jangan berharap lebih padaku.” Pernyataan
seperti inilah yang ku dengar pertama kali pada malam pertama. Aku hanya
terdiam tanpa kata. Bagiku cinta pada saat itu hilang dari hatiku, seakan-akan
aku adalah wanita yang tidak pantas untuk dicintai.
Hari berganti hari, waktu
setiap hari berjalan. Perubahan pada suamiku tidak kunjung kutemui sama sekali.
Dia masih acuh padaku. Hingga pada suatu hari dia masih tertidur pulas.
Kenapa
orang ini, tumben sekali belum bangun? dalam hatiku berkata. Aku mencoba
mendekatinya.
"Mas, sudah pagi. Sudah sholat subuh, kah?” aku melontarkan
pertanyaan pelan disampingnya.
Dia tak lekas menjawab pertanyaanku.
“Mas sakit?” sambil ku menyentuh dahinya.
Pertama kali aku menyentuh suamiku
sendiri. Kenapa jantungku berdetak sekencang ini.
“Mas, kamu demam. Kita ke
rumah sakit yaa,” begitu tergopohnya aku melihat monsterku tak berdaya.
Aku
langsung membawanya dengan meminta bantuan supir pribadiku.
“Pak Maman, bantu
Una, pak. Mas Nazril demam,” pintaku pada Pak Maman.
“Iya, Nak,” langsung sigapnya
pak maman seperti ayahku yang dimintai pertolongan anaknya.
Pak maman adalah
seorang supir di rumah kami. Bagiku, beliau seperti sosok ayahku sendiri. Beliau
selalu santun pada siapa saja. Di dalam mobil, baru kali ini Mas Nazril menyandarkan
dahinya di bahuku. Sedikit risih sih aku.
Cobak nggak sakit, pasti nggak bakal
duduk di sampingku. Makanya jadi orang jangan angkuh, dalam hatiku berkata.
Walau sekesel apapun aku pada monster gantengku, aku selalu sayang padanya.
“Mas, bangun sholat dulu ya... baru nanti
tidur lagi,” aku membangunkan dia diwaktu fajar.
“Hmm, kepalaku masih pusing, Na. Bolehkah aku sholat dengan baring?” dia bertanya padaku tak berdaya.
“Boleh, Mas. Ayo aku antar Mas mengambil air wudhu,” sambil kutarik tangannya untuk
membantu membopong tubuhnya dengan berjalan.
Aku menunggunya di luar pintu
kamar mandi.
“Mas, sudah kah?” aku bertanya saking lamanya dia dikamar mandi.
“Sebentar lagi,” dia menjawab.
Barulah dia keluar sambil tertatih-tatih.
Kemudian dia sholat di sampingku yang sambil dari tadi aku mengawasinya bagai
aku bodyguard-nya. Kemudian dia berbaring lagi dengan memegangi hand phone-nya
dengan terlihat sangat cemas. Aku tak berani bertanya. Pasti jika aku tanya, dia
tidak akan menjawabnya.
Pagi itu aku mendapatkan telfon dari Bu Ike. Aku lupa
kalau hand phone-ku di sebelah Mas Nazril.
“Una, hpmu ini lo bunyi, berisik banget,”
sambil agak tinggi nada yang dilontarkan padaku.
“Iya, Mas. Sebentar,” sambil aku
lari dari kamar mandi.
“Makasih, Mas, sudah diberi tahu,” dengan senyuman sok
cantik aku menatapnya.
“Hmm,” jawabnya yang selalu menyebalkan.
“Assalamu’alaikum, Bu Ike. Ada yang bisa saya bantu, Bu?” aku bertanya pada
beliau.
“Wa’alaikumussalam.
Una, bisa bantu Ibu kah? Ibu ada di luar kota, bisa kamu gantikan ibu di semester
2 selama dua pekan ke depan?” tanya Bu Ike padaku.
Aku terdiam termenung melihat
wajah suamiku yang tertidur lemas. Kalau aku ke kampus, siapa yang merawat
monsterku ini.
“Una? Masihkah kamu mendengar Ibu?” Bu Ike memanggilku lagi.
“Jadwalnya hari apa saja, Bu?” aku mencoba bertanya balik.
“Semua matakuliah
pada pukul 13:00 WIB dan itu hanya satu hari satu matakuliah. Bisa kan, Na?” Bu
Ike memohon sekali padaku.
Di jauh pandangku Mas Nazril memperhatikanku dengan agak
gengsi ketika aku menatapnya kembali.
“InsyaAllah bisa, Bu. Bu Ike tenang saja
di sana. Saya akan menghandel semua di sini semampu saya,” dengan jawaban yang
menenangkan hati Bu Ike.
“Terimakasih, Una. Semoga kamu kelak sukses, Na. Ya, sudah kalau begitu Wassalamualaikum, Una,” dengan bahagianya Bu Ike membalas
jawabanku.
“Aamiin. Iya, Bu. Waalaikumussalam,”
Suamiku
tidak tahu kalau selain melanjutkan Pasca aku juga menjadi asisten pribadi
dosenku.
*********
Namaku Nazril
Abdullah. Bukan karena aku tidak cinta pada istriku, namun aku masih
membutuhkan waktu untuk beradaptasi padanya. Pikirku dulu, kalau aku cuek
dengannya, pasti dia tidak akan betah dan akan meminta cerai dariku, namun
semua hanya omong kosong. Dia begitu istri idaman, dia tidak
henti-hentinya selalu sabar dengan tingkahku. Aku yang belum bisa sepenuhnya
menerimanya di hatiku, karena masih ada seseorang di hatiku. Akibat perjodohan, aku susah menerimanya.
Sebelum menikah, aku mempunyai kekasih yang begitu cantik. Namun dia berbeda sekali dari Una. Kekasihku dulu bernama Indah. Dia selalu
mengajakku shopping di manapun berada. Setiap aku libur kerja, dia selalu
mengajakku jalan. Bahkan sampai punya istripun aku sering jalan dengannya.
Memang aku tidak tahu malu, sudah punya istri masih saja aku jalan dengan
perempuan lain. Begitu seringnya aku mendzolimi istriku.
Una selalu menyiapkan
kebutuhan setiap hariku, walaupun aku cueg padanya. Bahkan dia aku beri nafkah
berapapun dia tidak menanyakannya, selalu diterima lapang dada. Una memang
gadis luar biasa bagiku. Di samping mengurus ibu dan aku, dia masih sempat melanjutkan
Pasca-sarjananya, tanpa sekali saja meminta bantuan padaku. Mungkin saking sibuknya
aku.
*******
“Sudah enakan, Mas, badannya?” tanya Una.
“Sudah
mendingan Na,” jawab Nazril masih sedikit lemas.
“Ini aku buatin susu dan roti
bakar buat kakak, dimakan yaa,” dengan menyodorkan segelas susu dan roti di
meja teras depan.
“Terimakasih ya,” jawab Nazril. “Hmm... Iya, mas,” senyum manisku
muncul.
Aku kembali membersihkan tempat tidurku dan apa yang kutemukan. Aku
begitu sangat kaget sekali. Notif hand phone Mas Nazril berbunyi, aku menengoknya.
Dan ternyata si cantik berkulit putih itu mengirimkan pesan pada suamiku. Begitu
kecewanya aku saat itu. Kurang apa aku ini? Mengapa dia masih mempertahankannya?
Aku memberanikan diri untuk membuka pesan itu.
“Pagi, Mas Nazril, gimana
keadaannya? Sudah membaik kah? Kog belum ngabarin aku,”
Nyesek banget aku
membacanya. Mataku mulai berkaca-kaca. Mengapa aku berada di harapan cinta ini? Yang aku bisa hanya berharap dan berharap dicintai suamiku sendiri. Aku
langsung memberikan hp itu pada Mas Nazril, dengan acting aku selalu tersenyum
apapun keadaanku.
“Ini, Mas, hpnya bunyi. Maaf tadi kepencet, Mas,” dengan senyum
kecutku aku menyodorkan hp itu.
“Iya. Makasih, ya,” jawabnya seperti tanpa dosa.
“Mas, aku izin ke kampus pagi, ya. Ada tugas mendadak pagi ini. Boleh, ya?”
Sambil aku memohon padanya.
“Iya. Boleh, cantik,” jawabnya dengan senyum
gantengnya.
“Cantik? Tumben amat aku dipuji,” kataku dengan suara lirih sambilku memalingkan sedikit
wajahku.
“Kamu bilang apa, Na?” dia mendengar ocehanku barusan.
“Oh,.. Nggak, Mas. Hehe,.. Makasih, Mas,” tingkah centilku mulai.
Kalau dia tau,
pasti dia tidak mengizinkanku untuk pergi. Hari ini aku tidak ada jam kuliah. Tugas dari Bu Ike-pun juga tidak ada. Aku mencoba mencari kebahagiaanku
sendiri. Aku nggak mau terus-terusan terpuruk dalam jeratan rumah tangga ini.
Aku butuh bahagia. Aku berhak bahagia. Aku berhak semua atas diriku.
Terkadang
aku berpikir, kenapa semua terjadi seperti ini padaku? Apa salahku? Kenapa
kebahagiaan tidak berpihak padaku? Derai air mata tak terbendung lagi. Di danau
inilah aku selalu meluapkan kesedihanku. Setelah aku tenang, aku menghubungi
Rara.
“Ra, bisa jemput aku? Aku butuh kamu,” nadaku sedikit mengisak.
“Na,
kenapa kamu? Oke aku jemput. Di tempat biasa kah? Tunggu aku di situ. Jangan
kemana-mana!” langsung sigapnya Rara membalas permintaanku.
Rara adalah sahabat
terbaikku, kami berteman sejak awal masuk S1. Belum terlalu lama, tapi di antara
kami saling melengkapi dan saling mensuport.
“Na, kenapa?” tibalah Rara
dihadapanku.
“Hiks.. hiks.. hiks,” langsung aku memeluk Rara tanpa berkata apapun.
Dia selalu pengertian ketika aku tidak bercerita dia tidak akan memaksaku untuk
bercerita. Dibawanya aku ke mobil dan diajak kesuatu tempat, yaitu salon, itulah
tempat favorit Rara.
“Ra, kog ke sini?” aku bertanya.
“Iya.. pasti kamu suka,” dengan
nada menghiburku.
Setelah semua selesai, rara mengantarku pulang karena hari
sudah larut malam.
“Ra, aku nggak mau pulang. Boleh aku tidur di rumahmu?” dengan
nada memelas pada Rara.
“Kamu ada masalah, Na? Kamu sudah izin belum sama
suamimu? Kamu sudah bersuami, lo, Na.Nnggak baik tidur di rumah teman. Dikira
kamu marah sama suamimu. Bukannya aku nggak ngebolehin, Na, tapi alangkah
baiknya kamu selesaikan masalahmu dulu dengan suamimu. Kamu sekarang lagi
emosi, tenangkan pikiranmu dulu, Na”, Rara menasehatiku.
“Aku sudah nggak kuat
dengan sikap Mas Nazril padaku, Ra. Apa aku tidak boleh mencari kebahagiaanku, Ra?
Aku tertekan dengan tingkahnya. Di hatinya Cuma ada peremuan itu, Ra,” tangisku
pecah seketika itu.
“Sabar, ya, Na. Pasti kamu kuat kog. Suatu saat nanti kamu
pasti bisa menaklukan hatinya,” Rara memelukku.
*********
“Dari mana? Jam segini baru pulang? Tumben
kuliah pulang jam segini? Mama nyariin kamu. Hp nggak aktif. Pergi nggak bilang-bilang”, dengan nada yang keras namun sedikit menghawatirkanku.
“Maaf, Mas,” singkat
padat jelas sekali jawabku.
Langsung aku memasuki lorong kamarku di samping
tempat tidurnya.
Kenapa anak ini? Nggak biasanya dia seperti ini, Nazril
membatin tingkahku.
Pagi kembali
lagi. Seperti biasa, aku selalu bangun di sepertiga malam untuk sembahyang dan
setelah itu aku membangunkan bibi untuk aku ajak bersih-bersih halaman.
Begitu
segarnya udara pagi ini. Tanpa ku sadari, Mas Nazril dari tadi memperhatikanku dari
lantai atas. Aku baru sadar itu.
Ngapain dia melihatku, aku yang kepedean
dilihatnya. Ahh, mungkin dia berisik dengan suara sapu lidiku, membuyarkan
harapanku sendiri.
“Bibi, ayo kita siap-siap sembahyang subuh di mushola, Bi,”
aku mengajak bibi.
“Iya nak, ayo kita siap-siap dulu,”
Rajin juga anak itu. Tidak hanya pintar dalam
sekolah aja, dia juga pintar mengurus rumah tangga. Namun, aku masih merasa bersalah
karena dia menjadi korban harapan cintaku, ucap Nazril dengan dirinya.
“Mas, aku ke kampus dulu. Mas kalau mau berangkat kerja sudah aku siapin semuanya,” izinku padanya.
“Aku antar yaa,” pintanya.
“Haaa?
Nganterin aku? Kenapa? Gara-gara aku kemarin pulang malem?” tanyaku penasaran.
“Nggak, ya mau apa nggak,” dengan nada sinis.
“Nggak usah, Mas. Biasanya juga
nggak pernah. Biar aku naik sepeda aja, 'kan dekat,” dengan senyum aku berkata.
“Ya sudah, jangan pulang telat ya,” nasehatnya.
Tiba aku di
kampus, Bu Ike memintaku untuk menemuinya.
“Husna, ini ada kabar gembira buat
kamu, selamat yaa,”
“Kabar gembira apa Bu?” aku bertanya
heran.
“Kamu dapat amanah dari Dekan, untuk menggantikan Ibu. Ibu mau pindah di
kota deket Ibu tinggal. Ibu harap, kamu bisa manjalankan amanah ini dengan baik
yaa, dan apabila Ibu punya salah tolong sekali maafin Ibu,” dengan memegang
pundakku, Bu Ike berkata padaku.
“Bu Ike... Ibu mau pindah meninggalkan kami?
Bu, kamu masih butuh bimbingan dari Ibu, Husna akan menjaga dan menjalankan
amanah Ibu dengan semaksimal mungkin. Maafin Husna juga ya Bu,” dengan mata
berkaca-kaca aku mengucapkan banyak terimakasih pada Bu Ike.
Sudah dua
bulan aku memegang semester 2 ini, anak-anaknya begitu antusias padaku. Wisuda
pascaku enam bulan lagi. Waktunya aku memikirkan tesisku. Kemenangan di depan
mata, kesuksesan tinggal satu langkah lagi. Namun aku tak kunjung meluluhkan
cinta suamiku. Dia memang berubah baik padaku, tapi dia tetap seperti itu
melihatku. Mungkin baginya aku tak lebih dari seorang buruh cuci dan sekarang
menjadi pembantu pribadinya. Terkadang aku tidak kuat dengan semua ini.
Aku harap pagi
itu Mas Nazril sudah membaik seperti biasanya.
“Tumben sekali dia sudah bangun,
mungkin dia sudah merasa membaik,” ujarku sambil melihat tempat tidur Mas Nazril
kosong. Karena aku datang bulan, makanya aku bangun kesiangan.
Setelah aku
bersiap-siap untuk ke kampus. Semua orang sudah menantiku di meja makan.
“Una,.. Sini, Nak. Siapa yang datang?” pinta Mama dari bawah.
“Iya, Ma. Maaf, Una bangun
telat,” sahutku sambil menuruni anak tangga.
Betapa kagetnya aku pada waktu
itu. Perempuan yang selama ini mengirim pesan pada Mas Nazril sekarang berada di
depan mataku. Bahkan dia satu meja makan sama aku.
“Kenalkan, Nak, ini Indah dia
temen Nazril di rumah sakit,” Mama memperkenalkan dia padaku.
“Oh,.. Iya, Mbak,
saya Una,” jawabku singkat dengan berjabat tangan padanya.
Aku sangat kaget
sekali, sepagi ini dia sudah sampai sini. Apalagi coba kalau nggak ada hubungan
di antara mereka. Mas Naszril hanya melihatku dengan pandangan tajam. Dia mungkin
tau kalau kedatangan Indah akan membuatku sakit hati.
“Ma, aku berangkat dulu, ya. Ada kelas pagi, maaf tidak bisa menemani lama-lama,” izinku sambil mengecup
tangan Mama.
“Hati-hati, ya, Nak,” pesan Mama.
“Perlu aku antarkan, Una?” tidak
biasanya Nazril menawarkan diri mengantar aku.
“Tidak, Mas. Temenin aja Mbak
Indah, aku biasa sendiri,” jawabku tanpa memandangnya.
“Pak, ayo kita jalan,” aku meminta Pak Maman
mengantarkan aku.
“Iya, Nak,” jawab pak maman.
Seketika sampai kampus aku lantas
turun dan mengajak Rara untuk mengantarkanku ke bandara.
“Kamu mau kemana Na? Kamu ada masalah? kamu sudah izin suamimu belum? Atau mungkin Mamamu?” tanya
Rara padaku.
“Aku mau berziarah ke makam orangtuaku. Aku sudah izin kog, Ra,”
jawabku berbohong pada Rara.
Tibalah sampai bandara aku berpamitan sama Rara.
“Hati-hati, ya, Na,” pesan Rara.
“Iya, Ra, kamu juga hati-hati baliknya,” pesanku
pada Rara.
Sebelum aku meninggalkan rumah, aku menyempatkan diri menulis surat
untuk Nazril.
Assalamu’laikum suamiku,
Mungkin ketika
kakak membaca surat ini, Aku sudah pergi jauh, dan mungkin memang kepergianku yang Mas harapkan. Tenang saja, Mas, aku pergi tanpa membawa harta Mas sedikitpun. Selama ini, aku tidak mengambil uang nafkah sama sekali dari Mas.
Jangan cari aku kalau memang aku tidak berarti dalam hidup Mas. Mungkin
sekarang aku sudah bahagia dengan kehidupanku. Semua uang Mas ada di laci, di bawah
tempat make up ku. Nggak pernah aku ambil sama sekali.
Aku sudah berjanji pada
diriku sendiri, aku tidak akan mengambilnya sebelum aku memang diakui sebagai
istri Mas. Bukan hanya istri buat Mama saja. Aku juga butuh bahagia Mas. Tolong jangan seperti itu sama perempuan. Cukup sama aku saja. Kalau memang Mas memilih perempuan itu, lepaskan aku pada saat Mas membaca surat ini.
Aku minta maaf belum bisa menjadi istri idaman Mas.
Wassalamu’alaikum. Salam
rindu.
*********
“Nazril, kemana Una? Kenapa dia nggak pulang?
Ada apa kalian? Kalian punya masalah?” tanya Mama pada Nazril.
“Pamitnya tadi
ke kampus, Ma. Tapi nggak tau ke mana dia. Dia juga tidak ngabarin aku. Hpnya
juga nggak aktif,” jawab Nazril.
Setelah satu minggu aku tidak pulang dan entah
ke mana pergiku, mereka semua tidak tau. Mama mertuaku jatuh sakit memikirkan
aku. Nazril merasa bersalah. Ditambah lagi salah satu mahasiswa yang datang
ke rumahku mencariku. Dan dari situ mereka semua baru tau kalau aku juga mengajar
di kampus itu bukan hanya mencari ilmu saja. Semua menjadi bingung. Kemana
Husna berada? Malam itu aku baru berani membuka hpku. Ada pesan dan panggilan
dari Mas Nazril.
“Una, kamu dimana? Mama mencarimu. Aku juga,” “Una? Tolong balas
pesanku ini,” “Una? Kamu marah? Maafin aku Na,”…... “ ternyata dia
menghawatirkanku.
Paling dia hanya basa basi biasa biar aku mau pulang, pintaku
ketika aku selesai membaca.
“Alhamdulillah kamu sudah mengaktifkan hpmu. Kamu dimana
Na? aku rindu,” tiba-tiba Nazril tau kalau whatsapp-ku sudah aktif.
Aku hanya
membaca saja tanpa aku balas sedikitpun.
Aku sudah merasa tenang di desa tempat
ayah dan ibuku tinggal. Desa Suka Maju namanya. Setiap sore aku diajak sepupuku
mengajar ngaji di pondok pesantren yang dekat sekali dari rumah. Tiba-tiba saat
aku pulang dari pesantren, mobil mewah terparkir di halaman rumahku. Dan sosok
monster itu lagi yang berdiri di depan pintuku. Aku menghampirinya
“Assalamu’alaikum. Sudah lama, Mas? Silahkan masuk,” dengan nada datar aku menyambutnya.
“Husna,
jangan tinggalkan aku lagi, maafkan aku
karena aku telah menelantarkan cintamu. Aku tidak bisa hidup tanpamu, aku janji
aku akan berubah. Sekarang aku sudah bisa menerimamu. Maafkan aku yang dulu.
Memang aku dulu bodoh sekali telah membuatmu sering sekali menangis. Aku tahu,
semua orang butuh kamu. Aku juga tahu kamu itu mengajar di kampus, mengapa kamu
nggak pernah cerita padaku. Sekarang kamu mau kan maafin aku?” ungkapan Nazril
sambil memelukku dari belakang.
Aku hanya terdiam dan menangis.
Aku memberanikan
diri balik badan dan berkata, “Kalau Mas mau sama dia, nggak papa, Mas. Aku
nggak maksa kog. Itu kebahagiaan Mas, aku juga berhak bahagia Mas. Kalau Mas terpaksa lebih baik pilihlah yang lebih Mas cintai. Mungkin itu akan
membuat Mas bahagia. Aku di sini juga sudah bahagia dengan semua saudaraku
yang sayang sekali sama aku,” jawabku sambil menangis tertunduk.
“Kamu ngomong
apa sih, Na. Iistriku hanya satu, yaitu kamu. Aku sama perempuan itu tidak ada
hubungan apa-apa. Maafin aku yaa… Masihkah cintamu bisa kuharapkan istriku?”
sambil mengusap air mataku.
Aku hanya mengangguk-ngangguk saja.
“Sekarang kita
mulai dari Nol, ya. Hapus memory lama. Kita ciptakan generasi baru, eee generasi,”
sambil tertawa dia berkata menghiburku.
Sekarang
harapan cinta sudah menjadi kenyataan. Memang, mengharap itu tidak enak yang
ada hanya pahitnya saja. Sekarang monsterku yang dulu angkuh padaku sekarang
menjadi lunak hatinya. Dan sekarang kami sudah kembali ke rumah Mama dan tak
lupa oleh-olehnya jagoan kami. Betapa senangnya hati ini. Memang, usaha itu
tiada yang menghianati hasil.[*]
Penulis: Latifatul Choiriyah (Penulis dapat disapa melalui email lalalatifi7@gmail.com)
Editor : Syarif Dhanurendra
Post a Comment